biar hati bicara

02.09 Posted In Edit This 0 Comments »
Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Kepada saya pernah dinasihatkan; jangan sampai kamu membiarkan
hatimu menjadi buta, tuli, dan bisu. Mungkin nasihat itu terasa
seperti sekedar basa-basi. Tetapi jika kita coba cermati, ternyata
memang; hati manusia itu menentukan segala tindakan dan
perbuatannya. Baik kepada diri sendiri, maupun orang lain. Orang-
orang yang hatinya buta, tidak dapat melihat dampak merugikan yang
ditimbulkan dari perilakunya yang buruk. Orang-orang yang hatinya
tuli, tidak bisa mendengar jerit tangis orang lain. Dan orang-orang
yang hatinya bisu, tidak mampu mengatakan bisik kebajikan bahkan
sekedar kepada dirinya sendiri. Jadi, sungguh berbahaya jika manusia
sampai membiarkan hatinya menjadi buta, tuli, dan bisu. Sebab jika
sudah demikian, kita yang menganggap diri sebagai mahluk mulia ini
tidak akan malu lagi untuk melakukan apa saja. Seburuk apapun itu.
Karena kita pada dasarnya; tidak lagi memiliki hati nurani.

Saya ada sesi presentasi CRM dihadapan sekitar 50 orang sales force
hari Jum'at kemarin. Dalam perjalanan menuju lokasi presentasi,
radio mobil saya tuned in di sebuah stasiun. Setelah memutarkan
beberapa lagu, penyiar bercerita tentang proses penggusuran sebuah
pasar bunga yang sudah sejak jaman dahulu hadir disalah satu sudut
kota Jakarta. Kemudian dia mengatakan bahwa diseberang telepon sudah
tersambung seorang pedagang bunga sekaligus pemilik satu dari 108
buah kios yang dirobohkan budozer aparat pemerintah.

Ketika mendengar hal itu, hati saya biasa-biasa saja. Mungkin karena
sudah terlampau sering saya mendengar kabar, membaca dikoran, atau
menyaksikan lewat pesawat televisi; peristiwa-peristiwa penggusuran
semacam itu. Isak tangis ibu-ibu pemilik gubuk atau kios. Kemarahan
para lelaki yang tertindas. Semuanya sudah menjadi biasa. Jadi, saya
tidak lagi merasakan itu sebagai sesuatu yang perlu dipedulikan.
Semuanya, biasa-biasa saja.

Pagi itu, tangan saya terasa enggan untuk sekedar memencet remote
control agar berita tak bernilai itu tidak lagi terdengar ditelinga
saya. Bosan rasanya. Tapi, mengapa tangan ini sama sekali tidak
kuasa untuk meraih remore control itu? Seolah memaksa diri saya
untuk mendengar percakapan radio itu. Baiklah, saya dengarkan saja.

"Pak Cahya," demikian sang penyiar radio menyebut lelaki diseberang
telepon. "Apa yang saat ini sedang terjadi disana?"
"Ya, disini aparat pemerintah sedang membumihanguskan kios-kios
kami," dia bercerita.
"Lalu apa yang anda dan rekan-rekan lakukan?" lanjutnya.
"Kami berbaris saja didepan pasar dengan damai sambil menyaksikan
para petugas yang digaji dari retribusi yang kami bayar setiap hari
itu merusak semua milik kami." katanya. Telinga saya mulai
terkesiap. Seperti telinga seekor anjing yang mendengar suara
gemerisik ditengah kesunyian malam. "Sementara kami tidak kuasa
menyaksikan mereka menginjak-injak kaum perempuan dan ibu-ibu."
"A-apa yang Bapak maksudkan menginjak-injak kaum perempuan?"
"Dibarisan paling depan ada ibu-ibu yang duduk dengan damai sambil
memegang bunga, lalu para petugas ...."

Saya tidak lagi dapat mendengar dengan jelas apa yang dikatakan
pemilik kios bunga itu. Sebab, tiba-tiba saja saya merasakan mata
ini berkaca-kaca. Ah, mengapa harus cengeng! Begitu hati saya
memberontak. Tetapi, semakin dia melawan, semakin terang-terggambar
dalam imajinasi saya suasana yang tengah terjadi dipasar bunga yang
terusir itu. Saya memang beberapa kali menyaksikan proses
penggusuran pasar dan rumah warga di berita-berita televisi. Dan,
saat ini; tayangan demi tayangan itu berputar-putar diotak saya. Dan
semakin kuat hati saya memberontak, semakin samar pandangan saya
oleh air mata yang kini sudah meleleh dipipi kiri dan kanan.

Hey! Sudah sangat lama saya tidak menitikkan air mata. Mengapa hari
ini saya melakukannya? Masihkah kamu seorang lelaki bersuara lantang
itu? Kemana gerangan ketegaran dirimu pergi? Saya tidak tahu. Saya.
Tidak. Tahu. Yang saya tahu, dada saya tidak kuasa lagi menahan
gejolak. Aneh, telinga saya mendengar suara seseorang yang tengah
terisak. Padahal, didalam mobil itu hanya ada saya sendirian. Jadi,
suara siapakah gerangan itu?

Sekitar jam delapan kurang lima belas menit, mobil yang saya
kendarai melintasi pasar Jatinegara menuju ke arah Matraman. Ketika
saya berhenti diperempatan yang tertahan oleh lampu merah, saya
mendapati diri saya sudah menangis seperti seorang pencinta yang
ditinggal pergi kekasih hatinya. Orang-orang yang menyeberang
melintasi mobil mungkin mengira saya memang tengah patah hati. Para
pengendara motor yang berjejer dikanan dan kiri menanti lampu hijau
terheran-heran; mengapa ada lelaki berdasi yang tengah mengendari
mobil sambil menangis? Tapi, ah. Biarkan saja. Mereka tidak mengerti
apa yang saat ini tengah saya rasakan dalam hati ini. Saya biarkan
saja hujan setempat itu terus mengguyur. Toh ada kertas tissue yang
bisa digunakan untuk menyekanya kemudian.

Gerimis pagi itu mulai mereda ketika melintasi pasar kenari. Semua
perasaan gundah itu hilang begitu saja. Aneh. Semuanya sirna kecuali
kaca spion yang memantulkan bentuk mata sembab saya seolah tidak
tidur selama berhari-hari. "Hey, kamu itu mau melakukan presentasi."
saya berbisik sendiri. "Bagaimana bisa, dengan mata semacam itu?"
Ah, tidak apa-apa. Mata ini akan segera pulih kembali. Sebab, air
mata yang baru saja dikeluarkannya itu memang untuk membasuh hati
yang sudah buram ini. Sekarang, hati saya terasa ringan. Dan tiba-
tiba saja, dia bisa melihat lebih terang. Mendengar lebih jelas. Dan
berkata dengan suara yang lebih jernih. Saya sudah menemukan hati
itu kembali.

Ketika saya menyeka wajah dihadapan cermin di toilet; saya melihat,
mata itu sudah kembali seperti mata yang biasanya. Sama sekali tidak
nampak disana sisa-sisa kegundahan. Yang ada, hanyalah perasaan
lega. Karena hari ini, saya kembali diingatkan bahwa; hati tidak
boleh dibiarkan mati.

Pagi itu, sebelum sesi presentasi dimulai, saya berkata kepada rekan
yang bertugas menyiapkan slide-slide kami; "Tolong tambahkan satu
slide lagi."
"Isinya apa, Pak?" kata sahabat saya.
"Tuliskan disana: Bekerja Dengan Hati" kata saya. "Lalu, tolong
carikan gambar hati, dan simpan di slide itu." Kemudian sahabat saya
melakukannya.
"Tolong jadikan itu sebagai slide pertama saya untuk presentasi pagi
ini...." begitu saya menambahkan.

Ketika sesi itu tiba tepat jam sembilan pagi, saya memulainya dengan
sebuah slide berisi gambar hati. Sungguh relevan dengan materi
presentasi saya pagi ini, yaitu; memuliakan pelanggan. Memuliakan
orang-orang disekitar kita. Dan memang benar. Langkah pertama yang
harus kita lakukan untuk apapun adalah; membawa serta hati kita.

Bayangkan jika kita bisa membawa serta hati terhadap setiap
pekerjaan yang kita lakukan. Apakah itu pekerjaan yang berhubungan
dengan CRM seperti yang saya bawakan dipagi itu. Ataukah pekerjaan
lain yang sehari-hari kita geluti. Pastilah, kita akan dengan ikhlas
melakukannya. Benar, kita masih mengharapkan bayaran. Tidak apa-apa.
Sebab begitulah hukum pelayanan dalam konteks pekerjaan. Kita
melayani. Dan orang yang kita layani memberikan bayarannya. Namun,
dengan menyertakan hati kedalam pekerjaan; pastilah kita bersedia
melakukan segala hal terbaik, untuk orang-orang yang kita layani.
Tidak akan pernah terlintas dalam pikiran kita untuk melakukannya
asal-asalan. Apalagi merugikan orang lain. Menipu. Menindas.
Memperdayai. Menjerumuskan. Tidak.

Dengan membawa hati nurani; kita tidak hanya sekedar bekerja demi
mendapatkan keuntungan pribadi. Dengan membawa hati nurani; kita
pasti selalu bisa memberi nilai manfaat kepada diri kita sediri.
Kepada orang lain. Kepada perusahaan yang mempekerjakan kita. Dan,
yang terlebih penting lagi adalah; kepada saat dimana kita harus
berhadapan dengan sang pemberi hidup. Yaitu, saat dimana Dia
bertanya kepada kita; Apa yang telah kamu lakukan dengan hidup yang
kuanugerahkan kepada dirimu?.

Hore,
Hati Baru!
Dadang Kadarusman

0 komentar: