Gengsi vs Sesuap Nasi

01.43 Posted In Edit This 0 Comments »
Gengsi vs Sesuap Nasi

Seberapa pentingkah sebuah gengsi bagi anda? Benarkah gengsi merupakan sebuah gaya hidup yang mencerminkan status sosial seseorang.Perlukah sebuah gengsi diburu dan dipuja sedangkan disekeliling kita masih banyak yang mengejar kebutuhan pokok sehari - hari.

Seorang rekan kerja dulu sampai bela-belain hutang ke koperasi hanya untuk ganti HP. Padahal HP yang lama juga masih ada, sehat wal afiat malah. Cuman blom ada feature kamera 1.3 MP dan MP3 playernya, seperti HP yang waktu itu baru beredar. Makanya saking kebeletnya, meski ngga punya duit, datanglah dia ke koperasi karyawan membawa selembar kertas hutang. Dulu ada tetangga yang beli TV 29 inch. Dalam tempo 3 bulan, rumah – rumah satu gang disitu TV-nya ganti baru, 29 inch semua !

Inikah mentalitas masyarakat kita? Sebuah kesuksesan diukur dari materi yang dimiliki; rumah, mobil, pakaian dan lain sebagainya. Ngga ambil pusing gimana memperolehnya. Hutang menumpuk, nyicil seumur hidup atau kalo perlu korupsi sedikit – sedikit. Disisi lain, kejujuran, ketekunan, kerja keras jika belum menghasilkan materi yang berlimpah dicemooh.Ukuran kenikmatan kerja bukan lagi nyamannya kita melakukan pekerjaan atau panggilan hati untuk menekuni suatu profesi, tapi berapa pendapatan yang kita terima dan fasilitas apa aja yang kita dapatkan dari pekerjaan itu.

Mental seperti ini menggiring kita untuk berperilaku konsumtif, membeli sesuatu bukan berdasarkan NEED tapi semata WANT. Semata – mata untuk memuaskan keinginan meski sebenarnya ngga butuh – butuh amat. Sing penting nduwe. Atau gur nggo ngumukake ning tangga teparo! Maka, jangan heran mall – mall tumbuh subur bertebaran di penjuru kota . Memanjakan para pemburu gengsi. Memamah biakkan sikap hidup konsumtif-individua listis, kata teman.

Kadang saya bertanya seberapa miskinnya sih bangsa ini? Demikian banyak data statistik yang menguraikan betapa besarnya hutang LN kita menimbulkan defisit neraca berjalan yang makin lama makin membengkak. Bahwa ada 37 koma sekian juta jiwa yang hidup di bawah garis kemiskinan. Berita di Koran dan TV sering menyajikan potret keluarga pra sejahtera. Rumah berlantai tanah dan berdinding gedhek; bolong sana sini. Keluarga yang ngga mampu beli nasi sehingga harus makan thiwul. Belum lagi anak-anaknya putus sekolah karena ngga ada biaya. Jutaan manusia yang diberi status miskin rela antri berdesakan selama berjam – jam untuk segepok ratusan ribu rupiah, hibah dari sang sinterklas bernama pemerintah.

Disisi lain, ada kelas masyarakat yang selalu memenuhi pusat perbelanjaan. Belanja jor – joran. Segala merk produk terbaru dilalap habis, bahkan sampai “mengejar”-nya keluar negeri. Mereka juga rela antri berdesakan berjam – jam untuk membeli barang – barang mewah produk terbaru. Saya kutip dari milis sebelah: Orang-orang Indonesia , diberitakan, menghabiskan Rp1 triliun pada Shopping Season Juni 2005 di Singapura. Mereka adalah penghambur terbesar (biggest spendor) mengalahkan para tukang belanja dari negara maju seperti AS.

Bukankah sebuah kontradiksi yang menyakitkan. Ketika berjuta rakyat pusing memikirkan bagaimana memperoleh ribuan rupiah untuk bertahan hidup hari ini, segelintir kalangan justru menghamburkan trilliunan rupiah untuk memuaskan nafsu belanjanya.

Sopo TEKUN nggolek TEKEN bakal TEKAN

0 komentar: